Sabtu, 30 Januari 2016

Pelibatan Stakeholder dalam Evaluasi Program


Dalam tulisan ini hanya membahas mengenai evaluasi program sistem kewaspadaan dini dan respon (SKDR). Dalam proses evalusi program sistem kewaspadaan dini dan respon (SKDR) terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) ini melibatkan beberapa stakeholder, di antaranya yaitu :
1.      Kader
Bersama petugas kesehatan, secara aktif melakukan pelacakan kasus yang terkait wabah. Kader juga berperan dalam posyandu kesehatan di lingkungannya. Memberikan sosialisasi mengenai penyakit yang merebak di masyarakat.
2.      Masyarakat
Masyarakat ikut berobat mengetahui sedini mungkin gejala penyakit yang dideritanya. Dan melaporkan ke petugas kesehatan terdekat atau kepada kader kesehatan scepat mungkin. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama memotivasi penderita dan memotivasi masyarakat yang memilik keluarga yang sakit untuk berobat ke fasilitas kesehatan terdekat dan menjaga kesehatan agar tidak tertular.
3.      Kelurahan/Kecamatan
Menyiapkan data – data demografi, pekerjaan, pendidikan, Gakin. Memudahkan pendataan dan perijinan agar birokrasi mudah dari tingkat bawah sampai atas. Memudahkan kebutuhan data warga miskin penderita penyakit yang dapat menimbulkan wabah yang ingin berobat ke fasilitas kesehatan. Kelurahan/ Kecamatan berperan dalam membantu sosialisai program yang berkaitan dengan pengendalian penyakit menular. Kelurahan dan kecamatan juga berperan dalam penyebarluasan jaminan kesehatan nasional yang dapat digunakan oleh pasien penyakit wabah.
4.      Rumah Sakit
Rumah Sakit dalam pelaksanaan program kewaspadaan dini dan respon berperan dalam pemeriksaan pasien yang menderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Rumah sakit melaporkan hasil pemeriksaan ke dinas kesehatan kota untuk ditindaklanjuti.
5.      Laboratorium
Laboratorium berperan dalam pemeriksaan klinis dari specimen yang diambil dari penderita penyakit.

Senin, 18 Januari 2016

Penatalaksanaan Hipertensi


Menurut Joint National Commeettee-7 (JNC-7) dan Depkes 2006 bahwa terapi pada penderita hipertensi ada dua jenis yaitu :
a.       Terapi non farmakologi atau mengubah pola hidup
Terapo non farmakologi merupakan pengendalian faktor risiko yang bisa diubah pada penderita hipertensi dengan usaha sebagai berikut:
1)      Mengatasi obesitas/ menurunkan berat badan
Pada penelitian Todong (2012) kejadian kelebihan berat badan mengakibatkan 2 kali kenaikan risiko mendapat hipertensi dibandingkan badan orang yang normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% yang memiliki badan berat badan lebih (overweight). Menurut (JNC-7) pengurangan berat badan sebanyak 10 kg dapat mengurangi tekanan darah sebesar 5-20 mmHg. Oleh sebab itu berat badan mesti dikendalikan.
2)      Berhenti merokok
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah, nikotin pada rokok sangat membahayakan kesehatan karena nikotin dapat meningkatkan tekanan darah dan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Dua batang rokok terbukti dapat meningkatkan tekanan darah sebesar 10 mm/Hg. (Selvi, 2009). Oleh sebab itu perlunya mengurangi menghisap rokok secara bertahap pada perokok berat hingga dapat berhenti secara total. 
3)      Melakukan olahraga secara teratur
Aktifitas fisik secara umum berkaitan dengan kebiasaan olahraga merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam badan disamping metabolisme basal dan spesific dynamic action dari jenis makanan. Aktifitas fisik dapat suatu kegiatan olahraga guna mencegah terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh. (Sari, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan kemenkes bahwa melakukan aktifitas fisik secara teratur (aktivitas fisik erobik selama 30-45 menit/hari) diketahui sangat efektif dalam menurunkan hipertensi hingga mencapai 19% sampai 30%. Selain itu, melakukan olahraga dapat mengurangi tekanan darah sebesar 4-9 mm Hg.
4)      Mengurangi asupan natrium
Konsumsi garam sebaiknya dikurangi pada penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Batasi sampai kurang dari 6 gram (1 sendok teh) per hari memasak dapat mengurangi tekanan darah 2-8 mmHg. (Gunawan, 2012).
5)      Melakukan diet dan mengurangi asumsi lemak
Kadar kolesterol yang tinggi dalam serum dapat meningkatkan risiko komplikasi aterosklerotik hipertensi, meskipun agak kurang namun hal ini tidak berlaku pada usia diatas 70 tahun. (Gunawan, 2012). Diet dengan mengkonsumsi makanan buah, sayur dan rendah lemak hewani dan mengurangi asam lemak jenuh diharapkan mengurangi tekanan darah sebesar 8-14 mmHg. (Tjokroprawiro, A et al., 2005).
b.      Terapi farmakologi
     Pengobatan hipertensi dilakukan dengan tujuan untuk mencapai tekanan darah target. Sekali obat antihipertensi digunakan, selanjutnya sangat diperlukan pemeriksaan rutin untuk menilai perkembangan yang dilakukan (JNC VII, 2003). Depkes RI 2004, menyebutkanpenatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita.
Jenis-jenis obat antihipertensi menurut JNC-VII adalah :
1)      Diuretik terutama jenis Triazide (Triaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant).
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh lewat kencing sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya.
2)      Penghambat Simpatis
Golongan ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis (syaraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metildopa, klonidin dan reserpin.
3)      Penghambat Reseptor Beta atau Beta Blockers (BBs)
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obat golongan ini adalah: metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol. Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah prazosin dan hidralazin.
4)      Penghambat enzim konversi angiostensin atau angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)
Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat antangiosin II. Contoh obat ini adalah katopril.
5)      Antagonis kalsium atau Ca Channel blockers (CCB)
Golongan obat ini adalah bekerja menurunkan pompa jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung. Adapaun yang termasuk kedalam golongan obat ini adalah nefedipin, diltizem, dan verapamil.
6)      Penghambat reseptor angiostesin II atau angiotensin reseptor blockers (ARB).
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah varsartan.
Pengobatan hipertensi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah dicapai progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa panjang atau memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dalam dosis rendah dan belum mencapai target maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke obat antihipertensi lain dengan dosis yang rendah.
Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah. Adapun jenis obat yang digunakan pada terapi obat kombinasi antara lain :
·         Diuretika dan ACEI atau ARB
·         CCB dan BB
·         CCB dan diuretika
·         AB dan BB
·         Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat (Sudoyo, 2009).

Tabel 4. Tatalaksana Hipertensi menurut JNC-7
Klasifikasi Tekanan Darah
TDS (mmHg)
TDD
(mmHg)
Perbaikan Gaya Hidup
Terapi Obat Awal
Tanpa indikasi yang memaksa
Dengan indikasi yang memaksa
Normal
<120
dan <80
Dianjurkan


Prehipertensi
120-139
Atau 80-89
Ya
Tidak


ada obat hipertensi yang dianjurkan
Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa
Hipertensi derajat 1
140-159
Atau 90-99
Ya
Diuretika jenis triazide untuk sebahagian besar kasus dapat mempertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi
Obat –obat untuk indikasi yang memaksa obat antihipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuai dengan kebutuhan
Hipertensi derajat 2
> 160
Atau >100
Ya
Kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis Triazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB

Sumber : JNC-VII, 2003

            Penderitahipertensi paling sedikit harus dievaluasi setiap bulan untuk peyesuaian obat agar tekanan darah segera tercapai. Jika sudah tercapai evaluasi dapat dilakukan tiap 3 bulan. Penderita dengan derajat 2 atau faktor dikomorbid misalnya diabetes dan payah jantung memerlukan evaluasi lebih sering. Faktor risiko kardiovaskuler yang lain serta adanya kondisi komorbid harus secara bersama diobati sampai seoptimal mungkin. (Tjokroprawiro, 2005).

Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Berikut adalah faktor-faktor risiko penyakit hipertensi :
1.    Hipertensi yang tidak dapat dimodifikasi
Hipertensi yang tidak dapat dimodifikasi adalah hipertensi yang terjadi karena faktor alami seperti umur, keturunan, dan jenis kelamin atau faktor-faktor yang tidak dapat diubah antara lain faktor genetika, umur, jenis kelamin, dan etnis.
a.      Faktor umur
          Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. (Kemenkes RI, 2013).
     Hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah ketika usianya semakin bertambah. Jadi semakin tua usianya, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus naik sampai usia 55-60 tahun, kemudian secara perlahan atau bahkan drastis menurun. (Puspitorini, 2009).
        Pada populasi tertentu, misalnya Indian Yanamamo di Brazil dan Pengembara Kenya, kenaikan tekanan darah yang berkaitan dengan umur ini tidak terlihat nyata, terutama pada populasi yang rendah konsumsi garamnya(Puspitorini, 2009).

b.      Jenis kelamin
      Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata perbedaan tekanan darah antara pria dan wanita. Akan tetapi mulai pada masa remaja, pria cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Perbedaan tekanan darah antara pria dan wanita lebih jelas terlihat pada orang dewasa muda dan orang setengah baya. Perubahan pada masa tua antara lain dapat diketahui dengan tingkat kematian awal yang lebih tinggi pada pria setengah baya pengidap hipertensi, sementara perubahan pasca-menopause pada wanita dapat pula berpengaruh pada tekanan darah (Firman, 2011).
      Pada umumnya pria memiliki kemungkinan lebih besar untuk terserang hipertensi daripada wanita. Hipertensi berdasarkan gender ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat, seperti merokok dan kelebihan berat badan, depresi, dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada pria lebih berhubungan dengan pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan menganggur (Firman, 2011).
     Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibanding dengan wanita. Namun setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal. Penelitian di Indonesia prevalensi lebih tinggi pada wanita (Puspitorini, 2009).

c.       Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi risiko mendapatkan hipertensi khususnya hipertensi primer. Data statistik menyatakan bahwa seseorang akan memiliki berpotensi untuk mendapatkan hipertensi apabila orang tuanya menderita hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan, apabila seorang dari orang tua mempunyai hipertensi maka anak/keturunan tersebut berisiko mendapatkan hipertensi 25%. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan anak/keturunan mendapatkan hipertensi sebesar  60% (Mannan et al., 2012).
Menurut penelitian Elvyrah (2011) bahwa riwayat keluarga memiliki risiko 2,9 kali menderita hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian (Mannan et al.,2012) bahwa bila terdapat penyakit hipertensi pada riwayat keluarga maka keturunannya akan berisiko menderita hipertensi sebesar 4,36 kali. 
2.    Hipertensi yang dapat dimodifikasi
Hipertensi yang dapat dimodifikasi adalah hipertensi yang dapat dicegah atau faktor yang dapat diubah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang cukup seperti kegemukan, olah raga, merokok, konsumsi minyak jelantah(Lisa, 2012).
a.         Indeks massa tubuh
Indeks massa tubuh yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dengan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh berkorelasi langsung dengan tekanan darah. (Kemenkes, 2011). Klasifikasi indeks massa tubuh menurut rekomendasi World Health Organization untuk wilayah Asia, normal bila indeks massa tubuh (<25kg/m2), overweight (25-<30kg/m2 dan obesitas (≥30 kg/m2). Bukti mengenai hubungan yang langsung antara berat badan dan tekanan darah muncul dari kajian dan pengamatan-pengamatan. Pada kebanyakan kajian, kejadian kelebihan berat badan mengakibatkan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat hipertensi.
Penelitian ini dilakukan pada 2.353 masyarakat Mongolia yang berusia lebih dari 20 tahun di Cina, menyebutkan bahwa obesitas dan kelebihan berat badan merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian hipertensi di Mongolia, Cina(Zhang et.al., 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Elvyrah (2011) bahwa seseorang yang mengalami obesitas berisiko mendapatkan hipertensi sebesar 2,78 kali dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas.
b.        Merokok
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah, nikotin pada rokok sangat membahayakan kesehatan karena nikotin dapat meningkatkan tekanan darah dan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Dua batang rokok terbukti dapat meningkatkan tekanan darah sebesar 10 mm/Hg(Selvi, 2009).
Rokok akan mengakibatkan terjadinya vasokonstruksi pembuluh darah perifer dan pembuluh darah di ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Merokok sebatang tiap hari akan meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali per menit.
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses atereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Merokok dapat mengakibatkan jantung berdetak lebih cepat dan memicu terjadinya penyempitan pembuluh darah. Hal itu memaksa jantung bekerja lebih keras sehingga mendorong naiknya tekanan darah. Merokok pada penderita hipertensi dapat memicu serangan jantung, stroke, gangrene (pembusukan kaki) dan kerusakan organ tubuh lain. Berhenti merokok akan mengurangi risiko parahnya hipertensi(Puspitorini, 2009).
Lewa (2010) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor risiko hipertensi sistolik terisolasi pada lanjut usia menyatakan bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 3,35 kali. Hal ini serupa dengan yang diungkapkan Fatma (2010) dalam penelitiannya mengenai pola konsumsi, gaya hidup dan indeks masa tubuh sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi pada nelayan, yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan kejadian hipertensi sebesar 2,5 kali. Hal yang berbeda diungkapkan oleh Saifullah (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa merokok tidak berpengaruh terhadap kejadian hipertensi.

c.         Konsumsi Alkohol
Katekholamin merupakan hormon yang dapat menyebabkan darah tinggi. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan sintesis katekholamin, dimana terdapatnya katekholamin dalam jumlah besar di dalam tubuh akan memicu kenaikan tekanan darah (Purwati et al., 2006).
Meskipun mekanismenya belum diketahui dengan pasti, alkohol juga dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Orang yang mengkonsumsi alkohol terlalu banyak atau peminum alkohol berat, cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan peminum atau minum sedikit (Suyono, 2001). Walaupun mekanismenya belum jelas, peningkatan tekanan darah akibat mengkonsumsi alkohol, diduga terjadi karena peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah, dan kekentalan darah merah yang berperan dalam menaikkan tekanan darah (Khomsan, 2003).
Survei menunjukkan bahwa 10% kejadian hipertensi, terkait dengan konsumsi alkohol (Khomsan, 2003). Risiko terhadap kejadian hipertensi akan meningkat sebesar dua kali, jika mengkonsumsi minuman beralkohol sebanyak tiga gelas atau lebih per hari (Saverio et al., 2004).

d.        Konsumsi Kopi
Kopi mengandung zat kimia Xantin yang mempunyai derifat kafein, teofilin dan teobromin. Kafein dapat mempengaruhi pembuluh darah dengan mempersempit pembuluh darah di otak, akibatnya kerja jantung menjadi meningkat dan terjadi hipertensi (Misti,2009). MenurutGeleijnse (2008) bahwa konsumsi kopi sebanyak cangkir per hari maka akan meningkatkan tekanan darah sebanyak 2/1 mm/Hg dibandingkan dengan orang tidak mengkonsumsi kopi. Hal ini sejalan dengan penelitian Misti (2009) bahwa terdapat hubungan signifikan antara mengkonsumsi kopi dengan kejadian hipertensi terutama pada wanita. 

e.         Kebiasaan Olahraga
Aktifitas fisik secara umum berkaitan dengan kebiasaan olahraga merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam badan disamping metabolisme basal dan spesific dynamic action dari jenis makanan. Aktifitas fisik dapat suatu kegiatan olahraga guna mencegah terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh(Sari, 2010).
Kegemukan terjadi bukan hanya kelebihan jumlah energi akan tetapi kurangnya aktifitas fisik. Kelebihan berat badan memaksa jantung bekerja lebih keras lagi. Olahraga yang disertai dengan penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan tahanan perifer total dan meningkatkan HDL yang dapat mengurangi terbentuknya ateroskelosis akibat hipertensi(Sari, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan kemenkes bahwa melakukan aktifitas fisik secara teratur (aktivitas fisik erobik selama 30-45 menit/hari) diketahui sangat efektif dalam menurunkan hipertensi hingga mencapai 19% sampai 30%. Begitu juga dengan kebugaran kardio respirasi pada paruh baya diduga meningkatkan hipertensi sebesar 50%. Penelitian ini sejalan dengan Sari (2010) bahwa kurangnya olahraga berisiko mendapat hipertensi sebesar 6,3 kali dan Tondong (2012) menyatakan bahwa aktifitas fisik yang kurang berpotensi mendapatkan hipertensi sebesar 3,4 kali dibandingkan seseorang yang melakukan aktifitas fisik secara teratur.

Blog Baru

Haii.... Silahkan beralih ke Blog saya yang kedua di http://nurvitawikansari.com Selamat membaca.. Terima Kasih :)